Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna (Q.S. At-Tin: 5). Secara fisik, manusia memiliki struktur tubuh yang sangat sempurna, ditambah lagi dengan pemberian akal, maka ia adalah makhluk jasadiyah dan ruhaniyah. Akal yang dianugrahkan kepada manusia memiliki tingkatan kecerdasan yang berbeda-beda.
Banyak orang meyakini bahwa orang yang cerdas adalah orang yang memiliki kemampuan Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, namun pada kenyataannya, tidak semua orang yang memiliki kemampuan IQ yang tinggi itu memiliki kemampuan adaptasi, sosialisi, pengendalian emosi, dan kemampuan spiritual. Banyak orang yang memiliki kecerdasan IQ, namun ia tidak memiliki kemampuan untuk bergaul, bersosialisai dan membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Banyak juga orang yang memiliki kemampuan IQ, tapi ia tidak memiliki kecerdasan dalam melakukan hal-hal yang dapat menentukan kebehasilannya di masa depan, prioritas-prioritas apa yang mesti dilakukan untuk menuju sukses dirinya.
Pada tahun 2004 Tes IQ menjadi tren di SD-SD di berbagai kota besar. Untuk meningkatkan “gengsi”, sekolah ramai-ramai menyeleksi anak-anak yang hendak masuk sekolah dengan tes IQ . Mereka berteori bahwa sekolah yang baik adalah jika para siswanya pintar-pintar, dan siswa yang pintar itu jika IQ-nya di atas rata-rata. Karena itulah mereka menyelenggarakan tes IQ. Meskipun mereka kurang begitu memahami kerangka landasan teoretis dan filosofisnya; untuk apa tes IQ itu, apa kelemahan dan kelebihannya, dan kapan semestinya hal itu dilakukan [1].
Dalam pendahuluan bukunya, Revolusi IQ/EQ/SQ, Taufik Pasiak mengungkapkan bahwa di antara dokter yang lulus tepat waktu (6,5 – 7 tahan) dengan Indek Prestasi Komulatif (IPK) di atas 3,0 merupakan dokter-dokter yang gagal, baik sebagai kepala Puskesmas maupun dokter praktik swasta. Ketika menjadi kepala Puskesmas, mereka menjadi pemimpin yang gagal. Ketika membuka praktik, mereka kekurangan pasien, sementara kawan-kawan mereka hampir drop out karena terlalu lama sekolah juga dengan IPK biasa, justru menjadi dokter-dokter yang berhasil ketika bekerja di lingkungan masyarakat. Di antaranya bahkan menjadi dokter teladan [2].
Intelligence Quotient (IQ) telah memonopoli teori kecerdasan. Kecerdasan seseorang hanya diukur lewat hasil tes inteligensi, yang logis-matematis, kuantitatif dan linear. Akibatnya, sisi-sisi kecerdasan manusia yang lainnya terabaikan. Hegemoni teori kecerdasan IQ memang tidak terlepas dari latar belakang historis, ilmiah, dan kultural. Secara historis, teori kecerdasan IQ memang merupakan teori kecerdasan pertama dan sudah berumur 200 tahun lebih, yang dimulai dari Frenologi Gall[3].
Pada awalnya, dikenal bahwa kecerdasan seseorang adalah mereka yang memilki kualitas IQ yang sangat tinggi, Hal demikian tidaklah salah karena pada awal sejarah perkembangannya, untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang adalah dengan mengetahui IQ nya. Orang yang pertama kali berpikir mengenai mungkinnya dilakukan pengukuran intelegensi atau kecerdasan adalah Galton, sepupu Darwin. Hal yang mendorongnya untuk memiliki pemikiran demikian adalah karena Galton tertarik pada perbedaan-perbedaan individual dan pada hubungan antara hereditas dan kemampuan mental. Menurut Galton ada dua kualitas umum yang dapat membedakan antara orang yang lebih cerdas (more intelligent) dari orang yang kurang cerdas (less intelligent) yaitu energi dan sensitivitas. Menurutnya, orang cerdas itu memiliki tingkat energi yang istimewa dan sensitivitas terhadap rangsangan di sekitarnya.
Mengacu kepada kesimpulan Howard Gardner, temuan-temuan ilmiah bagi perkembangan teori kecedasan manusia, sesungguhnya juga sudah lama ditemukan oleh saintis, terutama neuro-saintis. Sampai akhirnya Howard Gardner yang dengan sangat serius menstudinya, dan ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa kecerdasan manusia itu tidak tunggal, tapi majmuk, bahkan tak terbatas. Belakangan teori kecerdasan Howard Gardner ini dikenal dengan Multiple Intelligence (Kecerdasan Majmuk) ya’ni Linguistic Intelligence (Kecerdasan Bahasa) Logico-Mathematical Intelligence (Kecerdasan Logis-Matematis); Visual-Spatial Intelligence (Kecerdasan Visual-Spasial); Bodily-Kinesthetic Intelligence (Kecerdasan Kinestetik); Musical Intelligence (Kecerdasan Musik); Interpersonal Intelligence (Kescerdasan Antarpribadi); Intrapersonal Intelligence (Kecerdasan Intrapesonal); dan Natural Intelligence (Kecerdasan Natural).